Backpacking Pakistan 28: Agama Adalah Kemanusiaan

 

Keramahtamahan adalah jalan hidup warga desa

16 Mac 2020

Petang hari, ruangan ini mulai dipenuhi oleh lelaki-lelaki Ismaili dari seluruh desa untuk menghadiri mesyuarat rukun tetangga yang diadakan pada setiap minggu. Di desa yang bernama Kruijunali ini, abang Javed memegang jawatan selaku kepala desa, dan mesyuarat seharusnya diadakan di rumahnya. Namun pada setiap minggu, kediaman Javed dipilih menjadi lokasi tetap bagi perjumpaan berikutan rumahnya yang lebih besar berbanding orang lain.

Menjelang senja, mesyuarat pun usai. Para hadirin beransur-ansur pulang dan tinggallah aku bersama Javed dan abangnya si kepala desa, berbual-bual di mehman khana sambil menantikan makan malam yang sedang disediakan oleh anak perempuannya.

Abang Javed adalah seorang pengurus besar rangkaian Pakistan Tourism Development Corporation atau PTDC di motel milik pemerintah cawangan Mastooj. Tetapi sekarang dia bertugas di pejabat cawangan Booni kerana motel di Mastooj masih ditutup akibat terbungkus salji tebal. Walaupun jawatannya tinggi, namun orangnya sangat merendah diri. Dia berpakaian sederhana. Shalwar kamiz berwarna kelabu berpadu dengan rompi hitam. Kepalanya tak pernah lepas dengan topi pakol Chitrali bundar dan tebal. Bicaranya tenang, suaranya lembut. Ada aura yang terpancar dalam setiap kata yang mengalir. Walaupun dia tidak mampu berbahasa Inggeris dengan sempurna dan aku pula tidak terlalu memahami bahasa Khowari, ada dorongan entah dari mana yang membuat aku ingin berbual panjang dan berbagi kisah perjalananku dengannya. Untungnya ada anak saudara lelaki Javed yang menjadi penterjemah sukarela.


Senja hari di desa Kruijunali

“Motaaseb”. Kata ini meluncur dari mulut Ibrahim, anak saudara Javed yang satu ini, saat mendeskripsikan koversatisme bangsa Pashtun ketika perbincangan kami menyentuh topik orang Pathan. Motaaseb berarti fanatik, mengandung makna konotasi kekeraskepalaan dan kebodohan.

“Di Chitral tak ada banyak universiti besar, jadi kami terpaksa pergi ke kota-kota besar Pakistan untuk menyambung pengajian selepas tamat sekolah,” terang Ibrahim, “perempuan kami yang melanjutkan pelajaran di Peshawar terpaksa membungkus diri mereka dengan burqa kalau mahu keluar berjalan di kota. Ini gara-gara orang Sunni yang ramai di sana. Orang-orang motaaseb ini, pikirannya memang sudah buta. Mereka tidak suka melihat wajah perempuan. Kalau sampai wajah seorang perempuan terlihat, mereka kata berdosa. Apalagi itu namanya kalau bukan motaaseb?”

Kaum perempuan Ismaili bangga dengan kesederhanaan pakaian yang mereka pakai setiap hari. Sejak meninggalkan Lembah Swat, aku melihat sebuah dunia yang berbeza dengan Pakistan yang kukenali sebelumnya. Perempuan Ismaili berwajah terbuka dan terlihat jelas. Di sini, para perempuan juga turut mengusahakan perniagaan sendiri, bekerja, bertani, dan tidak selalu terkurung di dalam rumah. Cara bersalaman antara lelaki dan perempuan pula dengan mencium tangan antara satu sama lain, tak jarang juga, ada yang mencium pipi.

“Adat perempuan kami tidak memakai burqa. Tetapi mulai dari Swat dan seterusnya ke lain-lain daerah Khyber Pakhtunkhwa, kami tak punya pilihan lain selain memakaikan burqa kepada kaum wanita kami,” abang Javed menambah.

“Ini bukan tradisi kami. Kami cuma terpaksa,” suara Shafenaz terdengar dari dapur.

Ibrahim, dengan bijaksana menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemaksaan pakaian perempuan. ”Agama itu bukan di baju. Agama itu ada di dalam hati. Prinsip agama adalah kemanusiaan.”

Lalu aku bertanya tentang inti ajaran Ismaili.

Dia menjawab, “Agama kami adalah insaniat, kemanusiaan. Tidak peduli apa pun agama kamu, yang pertama-tama kau adalah manusia.”

Walaupun umat Ismaili adalah kaum marginal yang tinggal di kawasan pergunungan terpencil di Pakistan utara, aliran ini pernah mendominasi Asia Tengah pada zaman keemasan Jalan Sutera. Ismaili melahirkan ramai tokoh Islam yang berjasa bagi dunia Muslim mahupun seluruh umat manusia, misalnya Ibnu Sina yang dikenal sebagai Bapa Kedoktoran Dunia. Tetapi kemudian, ketika dinasti-dinasti Turki menguasai Asia Tengah dari abad ke-10 hingga ke-13, umat Ismaili terus menjadi sasaran penindasan oleh para penguasa yang tidak bersimpati terhadap kehidupan dan tradisi intelektual mereka. Lalu ia menyebabkan migrasi besar-besaran umat Ismaili dari kota-kota pusat peradaban Asia Tengah menuju daerah pergunungan terpencil di Badakhshan, Koridor Wakhan, hingga Pakistan utara.

Selama ratusan tahun, isolasi total dari kepungan gunung-gunung tinggi adalah penyelamat bagi orang Ismaili, membuat daerah ini sama sekali tak tersentuh radikalisasi serta kecamuk perang yang melanda Asia tengah dan Asia Selatan. Tidak ada kekacauan di sini (melainkan bencana alam), tidak pernah ada pertempuran, bahkan Taliban yang pernah menguasai Lembah Swat pun tidak hirau untuk datang ke sini. Justeru Pakistan utara terus hidup dalam kedamaian dunianya sendiri, bagaikan syurga yang tersembunyi.

Seperti halnya penghuni syurga yang tidak terikat dengan jerat materialisme, warga di Upper Chitral rela mengorbankan apa saja ketika menyambut tetamu. Tak peduli semiskin apa pun mereka, seberat manapun hidup, atau apakah mereka masih punya gandum untuk disantap, mereka akan tetap membuka pintu rumah mereka buat musafir yang memerlukan, tanpa memandang siapa, dari mana, dan beragama apa. Mereka percaya, semua musafir adalah rahmat dari Tuhan yang harus disyukuri, dan memberi bantuan bagi musafir adalah ibadah yang mengganjarkan pahala seperti orang mengerjakan haji di Mekah.

Malam ini aku disajikan dengan hidangan lauk pauk yang bersaiz luar biasa besar, ada ayam, kambing, sayuran, buah-buahan, roti, dhal, dan nasi.

“Terima kasih Shareef,” ucap Javed, “mari kita makan!”

“Bukankah saya yang harus mengucapkan terima kasih?” Tanya aku.

“Tidak, semua ini rezeki kamu,” terang Javed, “ketika di hari-hari biasa, kami sekeluarga tak pernah menjamah hidangan sebanyak ini. Tapi sejak kamu datang menginap, kaum perempuan di rumah ini menyediakan makanan yang lebih banyak daripada biasa. Lihatlah bagaimana kedatangan kamu telah membawa rezeki.”

Penjelasan Javed langsung menancap ke dalam benakku. Sungguh memang ada terselit kebenaran di dalam kata-katanya.

(bersambung)


Masjid umat Sunni berhadapan dengan Jemaat Khana umat Ismaili

Berkunjung ke Qaqlasht Meadow yang gersang di musim dingin

Ibrahim sempat membawa aku trekking di Booni Gol

Kawasan tanaman gandum warga desa

Sungai Mastooj kering di musim dingin

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Search accomodation for your next trip!

Popular Posts

List of Articles

Trip.com

Bangsa membaca bangsa berjaya!

One Way at MYR79!