Keramahtamahan adalah jalan hidup warga desa |
16 Mac 2020
Petang
hari, ruangan ini mulai dipenuhi oleh lelaki-lelaki Ismaili dari seluruh desa
untuk menghadiri mesyuarat rukun tetangga yang diadakan pada setiap minggu. Di
desa yang bernama Kruijunali ini, abang Javed memegang jawatan selaku kepala
desa, dan mesyuarat seharusnya diadakan di rumahnya. Namun pada setiap minggu,
kediaman Javed dipilih menjadi lokasi tetap bagi perjumpaan berikutan rumahnya
yang lebih besar berbanding orang lain.
Menjelang senja, mesyuarat
pun usai. Para hadirin beransur-ansur pulang dan tinggallah aku bersama Javed
dan abangnya si kepala desa, berbual-bual di mehman khana sambil menantikan makan malam yang sedang disediakan
oleh anak perempuannya.
Abang Javed adalah seorang
pengurus besar rangkaian Pakistan Tourism Development Corporation atau PTDC di motel milik pemerintah cawangan
Mastooj. Tetapi sekarang dia bertugas di pejabat cawangan Booni kerana motel di Mastooj
masih ditutup akibat terbungkus salji tebal. Walaupun jawatannya tinggi, namun
orangnya sangat merendah diri. Dia berpakaian sederhana. Shalwar kamiz berwarna
kelabu berpadu dengan rompi hitam. Kepalanya tak pernah lepas dengan topi pakol
Chitrali bundar dan tebal. Bicaranya tenang, suaranya lembut. Ada aura yang
terpancar dalam setiap kata yang mengalir. Walaupun dia tidak mampu berbahasa
Inggeris dengan sempurna dan aku pula tidak terlalu memahami bahasa Khowari,
ada dorongan entah dari mana yang membuat aku ingin berbual panjang dan berbagi
kisah perjalananku dengannya. Untungnya ada anak saudara lelaki Javed yang
menjadi penterjemah sukarela.
Senja hari di desa Kruijunali |
“Motaaseb”.
Kata ini meluncur dari mulut Ibrahim, anak saudara Javed yang satu ini, saat
mendeskripsikan koversatisme bangsa Pashtun ketika perbincangan kami menyentuh
topik orang Pathan. Motaaseb berarti
fanatik, mengandung makna konotasi kekeraskepalaan dan kebodohan.
“Di Chitral tak ada banyak
universiti besar, jadi kami terpaksa pergi ke kota-kota besar Pakistan untuk menyambung
pengajian selepas tamat sekolah,” terang Ibrahim, “perempuan kami yang
melanjutkan pelajaran di Peshawar terpaksa membungkus diri mereka dengan burqa
kalau mahu keluar berjalan di kota. Ini gara-gara orang Sunni yang ramai di
sana. Orang-orang motaaseb ini,
pikirannya memang sudah buta. Mereka tidak suka melihat wajah perempuan. Kalau
sampai wajah seorang perempuan terlihat, mereka kata berdosa. Apalagi itu
namanya kalau bukan motaaseb?”
Kaum perempuan Ismaili
bangga dengan kesederhanaan pakaian yang mereka pakai setiap hari. Sejak
meninggalkan Lembah Swat, aku melihat sebuah dunia yang berbeza dengan Pakistan
yang kukenali sebelumnya. Perempuan Ismaili berwajah terbuka dan terlihat
jelas. Di sini, para perempuan juga turut mengusahakan perniagaan sendiri,
bekerja, bertani, dan tidak selalu terkurung di dalam rumah. Cara bersalaman
antara lelaki dan perempuan pula dengan mencium tangan antara satu sama lain,
tak jarang juga, ada yang mencium pipi.
“Adat perempuan kami tidak
memakai burqa. Tetapi mulai dari Swat dan seterusnya ke lain-lain daerah Khyber
Pakhtunkhwa, kami tak punya pilihan lain selain memakaikan burqa kepada kaum wanita
kami,” abang Javed menambah.
“Ini bukan tradisi kami.
Kami cuma terpaksa,” suara Shafenaz terdengar dari dapur.
Ibrahim, dengan bijaksana
menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pemaksaan pakaian perempuan. ”Agama itu
bukan di baju. Agama itu ada di dalam hati. Prinsip agama adalah kemanusiaan.”
Lalu aku bertanya tentang
inti ajaran Ismaili.
Dia menjawab, “Agama kami
adalah insaniat, kemanusiaan. Tidak
peduli apa pun agama kamu, yang pertama-tama kau adalah manusia.”
Walaupun umat Ismaili adalah
kaum marginal yang tinggal di kawasan pergunungan terpencil di Pakistan utara,
aliran ini pernah mendominasi Asia Tengah pada zaman keemasan Jalan Sutera. Ismaili
melahirkan ramai tokoh Islam yang berjasa bagi dunia Muslim mahupun seluruh
umat manusia, misalnya Ibnu Sina yang dikenal sebagai Bapa Kedoktoran Dunia.
Tetapi kemudian, ketika dinasti-dinasti Turki menguasai Asia Tengah dari abad
ke-10 hingga ke-13, umat Ismaili terus menjadi sasaran penindasan oleh para penguasa
yang tidak bersimpati terhadap kehidupan dan tradisi intelektual mereka. Lalu
ia menyebabkan migrasi besar-besaran umat Ismaili dari kota-kota pusat
peradaban Asia Tengah menuju daerah pergunungan terpencil di Badakhshan,
Koridor Wakhan, hingga Pakistan utara.
Selama ratusan tahun,
isolasi total dari kepungan gunung-gunung tinggi adalah penyelamat bagi orang
Ismaili, membuat daerah ini sama sekali tak tersentuh radikalisasi serta
kecamuk perang yang melanda Asia tengah dan Asia Selatan. Tidak ada kekacauan
di sini (melainkan bencana alam), tidak pernah ada pertempuran, bahkan Taliban
yang pernah menguasai Lembah Swat pun tidak hirau untuk datang ke sini. Justeru
Pakistan utara terus hidup dalam kedamaian dunianya sendiri, bagaikan syurga
yang tersembunyi.
Seperti halnya penghuni
syurga yang tidak terikat dengan jerat materialisme, warga di Upper Chitral
rela mengorbankan apa saja ketika menyambut tetamu. Tak peduli semiskin apa pun
mereka, seberat manapun hidup, atau apakah mereka masih punya gandum untuk
disantap, mereka akan tetap membuka pintu rumah mereka buat musafir yang
memerlukan, tanpa memandang siapa, dari mana, dan beragama apa. Mereka percaya,
semua musafir adalah rahmat dari Tuhan yang harus disyukuri, dan memberi
bantuan bagi musafir adalah ibadah yang mengganjarkan pahala seperti orang mengerjakan
haji di Mekah.
Malam ini aku disajikan
dengan hidangan lauk pauk yang bersaiz luar biasa besar, ada ayam, kambing,
sayuran, buah-buahan, roti, dhal, dan nasi.
“Terima kasih Shareef,” ucap
Javed, “mari kita makan!”
“Bukankah saya yang harus
mengucapkan terima kasih?” Tanya aku.
“Tidak, semua ini rezeki
kamu,” terang Javed, “ketika di hari-hari biasa, kami sekeluarga tak pernah menjamah
hidangan sebanyak ini. Tapi sejak kamu datang menginap, kaum perempuan di rumah
ini menyediakan makanan yang lebih banyak daripada biasa. Lihatlah bagaimana kedatangan
kamu telah membawa rezeki.”
Penjelasan Javed langsung
menancap ke dalam benakku. Sungguh memang ada terselit kebenaran di dalam
kata-katanya.
(bersambung)
Masjid umat Sunni berhadapan dengan Jemaat Khana umat Ismaili |
Berkunjung ke Qaqlasht Meadow yang gersang di musim dingin |
Ibrahim sempat membawa aku trekking di Booni Gol |
Kawasan tanaman gandum warga desa |
Sungai Mastooj kering di musim dingin |