Memaparkan catatan dengan label International Women's Day. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label International Women's Day. Papar semua catatan

Behind the Veil: The Lives of Pakistani Women Through a Traveler's Eyes


A poster of a Pashto film at a cinema in Peshawar

In Conjunction with International Women’s Day, 8 March 2025


International Women’s Day, celebrated today, takes me back to 2020 when I met Ammara—or Ammu, as she’s fondly called—a solo backpacker from Oman traversing Pakistan. Since early January, she had journeyed from the chilly Naran Kaghan Valley to the frosty heights of Khunjerab Pass, from the breathtaking beauty of Hunza to the bustling streets of Lahore. Our paths crossed in Islamabad, where we shared a night at a local Couchsurfing meetup before she headed south and I ventured west. Yet, beyond tales of mountains and cities, Ammu’s stories about Pakistani women left an indelible mark on me.


Before arriving in Pakistan, Ammu confessed she was gripped by fear. Harrowing tales of sexual harassment—piercing stares, unwanted touches—had made her apprehensive. Even I, as a foreign man, had sometimes felt that unease. But after nearly two months exploring Pakistan’s diverse corners, Ammu encountered a different reality. “I was never harassed,” she said. “In fact, the hospitality of Pakistanis moved me deeply.”


In Lahore, she was welcomed to stay with a rickshaw driver’s family. In their modest home, three generations—parents, children, in-laws, and grandchildren—lived together in a tight-knit bond. Here, Ammu gained a rare privilege I could never access as a man: as a foreign woman, she could chat with the family’s men in open spaces while also stepping into the intimate world of its women, a realm hidden from outsiders. Through this, she uncovered stories that never reached my ears—stories of life behind the veil.

 

Wrapped in Burqa

Pakistani women, who appear as mere shadows in niqabs or burqas on the streets, possess a vibrant world of their own. They discuss the latest cosmetics, compare facial moisturizers, and share techniques for decorating their hands with henna. “Their lives are comfortable,” Ammu observed. Mornings are filled with household chores—preparing breakfast, cooking, cleaning—but afterward, transformation begins. Eyebrows are shaped, nails painted, and hands turn into canvases of art. Yet this beauty is reserved solely for their husbands; beyond the doorstep, it vanishes beneath layers of fabric, leaving only a pair of eyes whispering secrets of the heart.


One day, Ammu joined the family to watch a film at the cinema. From the afternoon, the women bustled with preparations—choosing outfits, applying makeup, adorning themselves with jewelry—for two hours, all for a trip to the theater. But the moment they stepped outside, they disappeared into the confines of their burqas. At the cinema, as Ammu tried to alight from the rickshaw, a panicked cry rang out: “Don’t! It’s dangerous!” To them, the outside world was a threat. Without a male family member, they never dared venture alone. That fear, Ammu noted, lingered like an unshakable shadow.

 

Pakistani Women at the Bazaar

My own experience watching a Pakistani film in Peshawar painted a stark contrast. The storyline was chaotic—senseless shootouts abruptly giving way to sensual, symbolic dances. Though the women on screen revealed no skin, their provocative movements stretched interpretations far beyond the country’s conservative values. Three hours of jarring scene switches left me empty. This was not the Pakistan I knew.


For Ammu, living among Pakistani women opened her eyes to a touching paradox. They are fiercely protected—special seats on buses, secluded restaurant rooms, priority without queues—but this protection stems from fear. Fear of men whose gazes linger despite the veils. “It’s all for safety,” Ammu said, yet she wondered silently: safety from what? A confining tradition, or a world that’s never truly safe for them?


Pakistani Women rarely pray at Mosques


I recall a man I met in Mardan, who had worked in Saudi Arabia, expressing pity for Indonesian and Filipino women laboring abroad. “Poor them, forced to be so far from family. Where are their husbands?” he mused. To him, women belonged in the ‘palace’ of home, sheltered and cherished. For the Pakistani women Ammu encountered, home was indeed a fortress of safety—a place to be themselves. But outside, the world became a lurking prison.

 

Ammu’s tales made me reflect: what’s normal to us may not hold true for them. The freedom we extol might be a shackle to others. On this International Women’s Day, I find myself wondering—is the life of Pakistani women a hidden gem within the cage of tradition, or merely a beautiful shadow dancing behind the veil, cradling silent dreams awaiting light? The answer may slip beyond our grasp, but it glimmers, alive, between the folds of fabric and their every breath.


With Ammu at Margalla Hills

Di Balik Cadar: Kehidupan Wanita Pakistan Dari Kaca Mata Pengembara

 

Poster filem Pashto di sebuah panggung wayang Peshawar

Sempena Hari Wanita Sedunia, 8 Mac 2025


Hari Wanita Sedunia yang disambut hari ini membawa aku kembali ke tahun 2020 ketika aku bertemu dengan Ammara, atau lebih mesra disapa Ammu, seorang backpacker wanita dari Oman yang menjelajah Pakistan seorang diri. Sejak awal Januari lalu, dia telah melangkah dari lembah Naran Kaghan yang sejuk ke puncak Khunjerab yang dingin, dari keindahan Hunza hingga hiruk-pikuk kota Lahore. Aku bertemu dengannya di Islamabad, di mana kami berkongsi malam ketika perjumpaan bersama komuniti Couchsurfing tempatan sebelum dia meneruskan perjalanan ke selatan dan aku ke barat. Namun, lebih daripada cerita-cerita tentang pemandangan gunung dan kota, kisah Ammu tentang wanita Pakistanlah yang menarik untuk aku kongsikan.


Sebelum tiba di Pakistan, Ammu mengaku dirinya dibelenggu rasa takut. Cerita-cerita seram tentang gangguan seksual daripada lelaki-lelaki Pakistan terhadap pelancong wanita - pandangan tajam yang menusuk, sentuhan tak diundang - membuat dia ragu. Malah aku sendiri, sebagai lelaki asing, pernah merasakan ketidakselamatan itu. Tetapi setelah hampir dua bulan menjelajah ke berbagai belahan Pakistan, Ammu mendapati realiti yang berbeza. “Saya tidak pernah diganggu,” katanya, “malah keramahtamahan orang Pakistan membuat saya terharu.”


Di Lahore, dia diundang untuk menginap di rumah keluarga seorang penunggang rickshaw. Dalam ruang sederhana itu, tiga generasi hidup bersama - bapa, anak, menantu, dan cucu - membentuk ikatan yang erat. Di sinilah Ammu mendapat keistimewaan khas yang mustahil untuk pengembara lelaki seperti aku dapatkan: sebagai wanita asing, dia boleh berbual dengan kaum lelaki keluarga di ruang terbuka, namun dalam masa yang sama dia juga diizinkan memasuki dunia intim wanita di bahagian rumah yang tersembunyi. Dari situ, dia mendengar cerita yang tak pernah sampai kepada aku - cerita tentang kehidupan di balik cadar.

 

Terbungkus burqa

Wanita Pakistan, yang di jalanan tampak sebagai bayang-bayang dalam niqab atau burqa, ternyata memiliki dunia sendiri yang penuh warna. Mereka berbual tentang kosmetik terkini, membandingkan pelembab wajah, dan berkongsi teknik menghias tangan dengan henna. “Kehidupan mereka selesa,” ujar Ammu. Pagi hari dipenuhi tugas rumah - menyediakan sarapan, memasak, mengemas - namun selepas itu, mereka bertransformasi. Alis dirapi, kuku dicat, dan tangan menjadi kanvas seni. Tetapi keindahan ini hanyalah untuk suami mereka; di luar rumah, semua tertutup rapat, meninggalkan sepasang mata yang berbisik tentang rahsia hati.


Suatu hari, Ammu diajak menonton filem bersama keluarga itu di panggung wayang. Sejak petang, wanita-wanita di rumah itu sibuk berdandan - memilih pakaian, menyolek wajah, memakai perhiasan - selama dua jam, hanya untuk ke panggung. Namun, begitu melangkah keluar dari pintu rumah, mereka lenyap dalam kurungan burqa. Ketika tiba di panggung, semasa Ammu cuba turun dari rickshaw, jeritan kecil terdengar: “Jangan! Bahaya!” Bagi mereka, dunia luar adalah ancaman. Tanpa lelaki dari anggota keluarga, mereka tak pernah berani melangkah sendirian. Ketakutan itu, kata Ammu, seperti bayang-bayang yang tak pernah pergi.


Wanita Pakistan di bazaar

Pengalaman aku menonton filem Pakistan di Peshawar pula meninggalkan kesan berbeza. Jalan ceritanya kacau - tembak-menembak tanpa logik, beralih mendadak ke tarian sensual yang penuh simbolik. Wanita dalam filem itu, walaupun tak mendedahkan aurat, digambarkan dengan gerakan yang provokatif, mengundang tafsiran yang jauh dari nilai konservatif negara ini. Tiga jam berlalu dengan babak yang berganti kasar, meninggalkan aku dengan rasa hampa. Itu bukan cerminan Pakistan yang aku kenali.


Bagi Ammu, pengalaman tinggal bersama wanita Pakistan membuka matanya pada kontradiksi yang menyentuh. Mereka dilindungi dengan ketat - ruang khas di dalam bas, ruangan tertutup di restoran, keutamaan tanpa beratur - tetapi perlindungan ini justeru lahir dari ketakutan. Ketakutan terhadap lelaki yang masih memandang mesra walaupun cadar menyelubungi. “Ini semua untuk keselamatan,” kata Ammu, namun dia juga bertanya dalam diam: keselamatan dari apa? Tradisi yang mengurung, atau dunia yang memang tak pernah aman bagi perempuan-perempuan itu?


Perempuan Pakistan umumnya tidak pergi ke masjid

Aku jadi teringat dengan seorang lelaki yang aku temui di Mardan, yang pernah bekerja di Arab Saudi, berkongsi simpatinya terhadap wanita Indonesia dan Filipina yang bekerja di luar negara. “Kasihan mereka, terpaksa berjauhan dengan keluarga,” ujarnya, di mana suami mereka?” Baginya, wanita sepatutnya kekal di dalam ‘istana’ rumah, dilindungi dan disayangi. Bagi wanita Pakistan yang Ammu temui, rumah memang benteng keselamatan - tempat mereka bebas menjadi diri sendiri. Tapi di luar, dunia jadi penjara yang mengintai.


Kisah dari Ammu membuat aku merenung: apa yang biasa bagi kita, belum tentu tepat bagi mereka. Kebebasan yang kita agungkan mungkin adalah belenggu bagi yang lain. Di Hari Wanita Sedunia ini, aku sekali lagi membayangkan - adakah kehidupan wanita Pakistan itu permata tersembunyi dalam sangkar adat, atau sekadar bayangan indah yang menari di balik cadar, menyimpan impian bisu yang menanti sinar? Jawapannya mungkin terlepas dari genggaman kita, tetapi ia berkilau, hidup, di antara lipatan kain dan nafas mereka.


Bersama Ammu di Margalla Hills

Search accomodation for your next trip!

Popular Posts

Trip.com

Bangsa membaca bangsa berjaya!

One Way at MYR79!